Nietzsche
mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup
adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk
bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak
untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang
utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang
mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang; yang buruk adalah yang
tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
Hidup adalah
medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar bisa terus melangsungkan
hidupnya. Dan dalam pertarungna yang kita namakan keidupan itu, kita tidak
memerlukan kebaikan melainkan kekuatan; yang yang dibutuhkan dalam hidup
bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggan diri;bukan altruisme, melainkan
kecerdasan yang sangat tajam. Dan, hukum kehidupan bukanlah hukum yang dibuat
oleh manusia, melainkan hukum yang dibuat oleh alam: kesamaan dan demokrasi
bertentangan dengan kenyataan seleksi alam dan kelangsungan hidup; keadilan
berlawanan dengan kekuasaan, merupakan wasit sejati dari seluruh perbedaan dan
seluruh nasib makhluk hidup.
Manusia Unggul
Sebagaimana
moralitas tidak terletak pada kebaikan, demikian juga tujuan dari kerja keras
manusia bukanlah demi peningkatan kualittas hidup manusia, malainkan demi
perkembangan individu-individu unggul yang lebih baik dan lebih kuat. “ bukan
menjadi manusia yang merupakan tujuan hidup yang sejati, melainkan menjadi
Manusia Unggul.” “ Umat manusia tidak ditingkatkan atau diperbaiki, karena
dalam kenyataan tidak ada umat manusia itu adalah abstraksi; yang ada adalah
sarang semut individu-individu.” Masyarakat adalah alat (mesin)untuk
meningkatkan kekuatan dan kepribadian individu-individu; kelompok bukanlah
menjadi tujuan. “ untuk tujuan apakah mesin-mesin itu jika semua individu hanya
dipakai untuk menjaga dan mempertahankannya? Mesin atau organisasi-organisasi
sosial, yang kelak akan berakhir dengan sendirinya, tidak lain umana commedia?”
Mansia unggul
tidak dilahirkan oleh alam. Proses biologis sering tidak adil terhadap
individu-individu yang luar biasa; alam sangat kejam pada produknya yang paling
baik; alam lebih mencintai dan melingdungi manusia manusia yang rata-rata dan
sedang-sedang saja; di dalam alam terdapat penyimpangan yang terus menerus pada
“jenis-jenis” manusia. Manusia Unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui
seleksi manusia (human selection), melalui perbaikan kecerdasan (eugenic
foresight) dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan
individu-individu.
Maka, amatlah
absurd kalau membiarkan individu-individu yang lebih tinggi derajatnya melakukan
perkawinan karena cinta, misalnya, para apahlawan dengan gadis-gadis pelayan,
para jenius dengan tukang jahit perempuan! Schopenhauer keliru, cinta bukanlah
eugenetika; kalau seorang manusia sedang jatuh cinta; jangan biarkan dia
membuat keputusan-keputusan yang bisa mempengaruhi seluruh hidupnya; tidak
mungkin bagi manusia bercinta dan bijaksana sekaligus! Kita wajib menyatakan
“tidak sah” pada janji-janji yang diucapkan oleh seorang yang sedang kasmaran;
kita harus memandang cinta sebagai rintangan berat untuk perkawinan. Yang
terbaik harus mengawini yang terbaik. Tujuan perkawinan bukanlah semata-mata
reproduksi, tetapi juga harus ditujukan untuk perkembangan. “Perkawinan: saya
akan menamakannya kehendak dari dua orang untuk menciptakan satu kesatuan yang
lebih daripada mereka yang menciptakannya. Saya namakan perkawinan sebagai
penghormatan sau sama lain setelah mereka saling menghendaki.”
Calon manusia
Unggul yang baru lahir membutuhkan peningkatan kecerdasa. “ Intelek melulu
tidak membuat manusia jadi mulia; sebaliknya, selalu perlu sesuatu untuk
memuliakan Intelek…lalu, apa yang dibutuhkan? Darah….” Setelah itu, diperlukan
pendidikan yang keras, di mana kesempurnaan merupakan materi utamanya, dan
“tubuh dilatih untuk menderita dalam keheningan yang diam, sedangkan kehendak
dilatih untuk memerintah dan mematuhi perintah.” Pendidikan untuk
Manusia-manusia Unggul haruslah sedemikian keras, sehingga mereka mampu membuat
tragedi menjadi komedi; ‘Ia yang berjalan menyusuri gunung-gunung tertinggi
akan menetawakan semua tragedi”
Energi,
Intelek, dan kehormatan atau kebanggan diri membuat Manusia Unggul. Namun
kesemuanya itu harus selaras: gairah-gairah akan menjadi kekuatan, hanya jika
mereka dipilih dan dipadukan oleh suatu tujuan besar, yang mampu membentuk
berbagai keinginan yang masih kabur ke dalam kekuatan satu kepribadian.
“kesengsaraan bagi para pemikir ibarat tanah subur bagi tanaman.” Siapa yang
segala tingkah lakunya hanya mengikuti impuls-impulsnya? Mereka adalah
manusia-manusia dungu yang lemah, yang kurang memiliki kekuatan untuk hidup dan
bertahan; mereka tidak cukup kuat untuk menagtakan tidak; mereka adalah
pecundang, manusia dekaden. Hal yang terbaik adalah mendisiplinkan diri,
berbuat keras terhadap diri sendiri. “manusia yang tidak ingin jadi komponen
massa, berhentilah memanjakan diri sendiri.”kita harus keras pada orang lain,
tetapi terutama pada diri kita sendiri; kita harus mempunyai tujuan dalam
menghendaki apa saja, kecuali berkhianat pada teman sendiri, itulah tanda
kemuliaan, rumus akhir Manusia unggul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar